Pembantaian orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Namun pada tahun 2011, isu penyiksaan dan pembantaian orang utan menjadi perhatian masyarakat karena diberitakan oleh beberapa media nasional.
Habitat mereka berupa hutan hujan tropis di dataran rendah, hutan berawa atau hutan perbukitan pada ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (dpl) di Kalimantan dan Sumatera semakin terkikis akibat penebangan liar dan keserakahan perusahaan kelapa sawit serta pabrik pulp (bubur kertas).
Aparat negara, mulai dari kepolisian, Pemda sampai Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tidak berbuat maksimal untuk menyelamatkan habitat dan kehidupan orang utan.
Mereka seperti membiarkan penyiksaan dan pembantaian orang utan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan menggunakan hewan ini sebagai subjek pelacuran pun sudah menjadi hal yang lazim, terutama di pedalaman Kalimantan.
Banyak orang utan betina dijadikan budak seks oleh para manusia bejat yang bekerja untuk cukong-cukong penebangan liar. Orang utan malang tersebut dirantai, digunduli rambutnya hingga habis lalu disetubuhi oleh para manusia bejat tersebut.
Uang dari para cukong, bandit dan mafia penebangan liar serta kelapa sawit memang lebih kuat dibandingkan penegakan hukum yang adil.
Entah sampai kapan tindakan biadab ini akan berlangsung.
Menurut data yang dikeluarkan International Workshop on Population Habitat Viability Analysis (PHVA)-2004, populasi orang utan di Kalimantan ada sekitar 57.797 ekor. Sementara populasi orang utan di Sumatera ada 7.501 individu, seperti yang dilansir oleh situs The Borneo Orangutan Survival Foundation.
Harus ada gerakan yang cepat dan masif dari pemerintah, terutama Presiden SBY dan Wapres Boediono untuk menghentikan penyiksaan dan pembantaian orang utan. Lalu mengeluarkan moratorium penerbitan izin pembukaan hutan di Kalimantan dan Sumatera serta mengganti semua aparat kepolisian dan kehutanan di lapangan yang sudah terbukti membiarkan pembantaian orang utan.
Jangan biarkan orang utan menjadi harimau Jawa dan harimau Bali yang punah akibat kebodohan dan keserakahan manusia.
Habitat mereka berupa hutan hujan tropis di dataran rendah, hutan berawa atau hutan perbukitan pada ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut (dpl) di Kalimantan dan Sumatera semakin terkikis akibat penebangan liar dan keserakahan perusahaan kelapa sawit serta pabrik pulp (bubur kertas).
Aparat negara, mulai dari kepolisian, Pemda sampai Kementerian Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup tidak berbuat maksimal untuk menyelamatkan habitat dan kehidupan orang utan.
Mereka seperti membiarkan penyiksaan dan pembantaian orang utan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Bahkan menggunakan hewan ini sebagai subjek pelacuran pun sudah menjadi hal yang lazim, terutama di pedalaman Kalimantan.
Banyak orang utan betina dijadikan budak seks oleh para manusia bejat yang bekerja untuk cukong-cukong penebangan liar. Orang utan malang tersebut dirantai, digunduli rambutnya hingga habis lalu disetubuhi oleh para manusia bejat tersebut.
Uang dari para cukong, bandit dan mafia penebangan liar serta kelapa sawit memang lebih kuat dibandingkan penegakan hukum yang adil.
Entah sampai kapan tindakan biadab ini akan berlangsung.
Menurut data yang dikeluarkan International Workshop on Population Habitat Viability Analysis (PHVA)-2004, populasi orang utan di Kalimantan ada sekitar 57.797 ekor. Sementara populasi orang utan di Sumatera ada 7.501 individu, seperti yang dilansir oleh situs The Borneo Orangutan Survival Foundation.
Harus ada gerakan yang cepat dan masif dari pemerintah, terutama Presiden SBY dan Wapres Boediono untuk menghentikan penyiksaan dan pembantaian orang utan. Lalu mengeluarkan moratorium penerbitan izin pembukaan hutan di Kalimantan dan Sumatera serta mengganti semua aparat kepolisian dan kehutanan di lapangan yang sudah terbukti membiarkan pembantaian orang utan.
Jangan biarkan orang utan menjadi harimau Jawa dan harimau Bali yang punah akibat kebodohan dan keserakahan manusia.
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar