Spanyol versus Italia: Simulakra dan Kaki-kaki Lempung

FOTO:AFP/Giuseppe Cacace
Jakarta - Bagi Jorge Luis Borges, La Loteria en Babilonia hanya sekadar cerita. Tetapi tidak bagi Jean Baudrillard. Dari cerita Borges itulah ia mendapat inspirasi untuk menelaah gejala--sekaligus memberi kesimpulan tentang hidup pasca-modern.

La Loteria en Babilonia atau Lotere di Babilonia bercerita tentang bagaimana masyarakat Babilonia tidak hanya menggemari lotere, tetapi juga menaruh kepercayaan besar terhadap permainan tersebut. Borges, sastrawan buta dari Argentina tersebut, dengan cemerlang menggambarkan sebuah "konsepsi simulasi", yang bagi Baudrillard adalah sebuah deskripsi purna tentang apa yang kelak disebutnya sebagai "simulakra".

Kegemaran bermain lotere dalam masyarakat Babilonia yang ditulis Borges, perlahan bergeser fungsinya dari sekadar permainan menjadi sebuah mitos. Manusia secara perlahan mulai mempercayai lotere sebagai alat untuk menentukan hidup, di mana kemudian apa yang terjadi pada hidup melulu tergantung dengan hasil undian sebuah lotere yang mereka mainkan--di mana manusia kemudian menggantungkan hidupnya kepada benda tersebut.

Dari gambaran itulah, Baudrillard menerbitkan kesimpulan: Lotere menjadi membuat manusia jadi lupa perbedaan antara hidup yang nyata dan fantasi. Semua perbedaan menjadi sangat tipis. Dan itulah simulakra yang disebut Baudrillard: ketika lotere telah mendahului esensi hidup itu sendiri, manusia terjebak dalam realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa.

Semua itu seperti Tiki-Taka Spanyol.

Sejak Luis Aragones memilih untuk meminggirkan nama besar Raul Gonzalez dan lebih memprioritaskan pemain-pemain "cebol" untuk ukuran manusia Eropa, ia seolah telah mengerti bahwa Spanyol tengah menuju dimensinya sendiri yang bergelimang kejayaan dan trofi.

Aragones, sebagaimana sikap Foucault yang mendistorsi doktrin pertentangan kelas ala Marxisme, telah menyadari bahwa dengan tiadanya Raul di skuad La Furia Roja, maka Kekuasaan (dengan "K" besar) tak lagi dimiliki oleh satu entitas (dalam hal ini Raul, pangeran Real Madrid yang disayang raja-raja Castillan itu), melainkan hasil dari relasi kompleks yang menyebar dan hadir di mana-mana.

Maka ia menerbitkan sebuah cetak biru permainan untuk pemain-pemain "cebol" macam Xavi Hernandez, Andres Iniesta, David Villa, hingga David Silva: bermain dengan umpan pendek tik-tak. Tak ada jenderal pengatur serangan, yang ada hanya perputaran arus bola, eksploitasi ruang-ruang kosong yang dihadirkan lawan yang hanya mampu bertahan, lalu kembali mengalirkan bola dengan cepat, memutari lapangan, dan... gol.

Itulah Tiki Taka, sebuah simulakra dalam sepakbola modern, di mana pemain lawan dijebak kedalam imaji ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya tak pernah ada. Ketika Spanyol tengah mengalirkan bola dari kaki ke kaki, semua pemain sibuk bertukar posisi sabagai bagian dari usaha untuk terus membuka ruang pertahanan lawan.

Oleh karena itu, meski Spanyol selalu mendominasi penguasaan bola hingga bermenit-menit, mereka hanya perlu beberapa detik untuk menuntaskan semua. Dan itulah saat ketika pemain lawan telah terpedaya oleh simulakra Spanyol: ketika mereka berpikir tak akan mampu merebut bola dari Spanyol dan mengira bahwa mereka hanya mampu bertahan. Hal yang memang diinginkan Spanyol.

Serupa dengan apa yang diamini Baudrillard tentang simulakra dalam bukunya "Simulations", Tiki-Taka adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising) yang sukses memproduksi segala sesuatu yang palsu (false) guna menciptakan kekacauan dan intermediasi dalam benak lawan.

Maka tak usah heran jika Spanyol intim dengan "False 9". Mereka memerlukan "pemain bernomor sembilan palsu", guna di plot sebagai kamuflase dalam pusat permainan mereka, yang tidak hanya menunggu umpan seperti Inzaghi menunggu bola muntahan, tetapi pemain "false 9" wajib terus bergerak, memecah belah pertahanan lawan lewat pergerakannya yang tak terduga.

Kita jelas perlu menunjuk satu nama dalam "false 9" ini. Ia adalah pemain "cebol" lain, Cesc Fabregas. Vicente Del Bosque jelas perlu Fabregas sebagai "false 9" untuk menciptakan realitas dengan citra-citra buatan, yang dengan sadar menjadikan dirinya sebagai fantasi untuk lawan, atau malah halusinasi yang menjadi kenyataan. Dan Fabregas beberapa kali berhasil melakukannya. Beberapa kali bek lawan ketakutan dan percaya bahwa ia adalah Eusebio yang mampu mencetak gol dengan cara apapun.

Spanyol, lewat Tiki Taka, adalah perpanjangan tangan simulakra di dunia sepakbola. Fabregas, dalam posisinya sebagai "false 9", adalah Derrida yang tengah memukul keras-keras martil dekonstruksi kepada wajah modernisme: di mana setiap paradigma modernitas dipertanyakan dan ditelanjangi--dalam hal ini peran usang striker yang hanya mampu menunggu umpan--untuk kemudian dijungkirbalikkan fungsi awalnya.

Di final Piala Eropa 2012 nanti, Spanyol bertemu lawan yang tepat: Italia. Sebuah negeri di mana sepakbola dirayakan dengan semangat modernitas yang kental, dengan sikap cuek terhadap patologi yang dihadirkan modernitas itu sendiri. Dalam hal ini, hegemoni atau status quo.

Lihatlah bagaimana Seri A mengharamkan pemain muda bersinar. Lihat pula bagaimana mereka justru lebih sering meraih gelar juara justru ketika sepakbola mereka ditelanjangi hukum dan borok mereka tercium dunia luar. Lihat pula bagaimana pada 2006 mereka jadi kampiun Piala Dunia dengan bermaterikan pemain-pemain uzur yang hendak terbenam macam Totti, Del Piero, Cannavaro... Serta seorang pemain yang waktu itu tengah berada dalam usia emas; Pirlo.

Italia memang tak peduli semangat-semangat mikro yang hadir dalam dunia pasca-modern. Mereka menolak asumsi rasio-kritis ala Kantian dan lebih bersemangat membicarakan sepakbola melalui kaki-kaki lempung yang telah didakwa akan segera menuju kepunahan. Dan untuk ini, kita perlu, sangat perlu, membicarakan sebuah masterpiece lain dalam sepakbola yang hanya hadir satu millennium sekali: Andrea Pirlo.

Sekali lagi: Andrea Pirlo, pemain yang tengah dianggap hendak menuju masa pensiun, tetapi justru membalikkan semua asumsi dengan permainan memukau. Pirlo adalah sesungguh-sungguhnya metronom. Geraknya anggun, umpan-umpannya indah. Kita seperti sedang melihat Leondardo da Vinci tengah melukisLa Gioconda di sebuah taman pada musim hangat yang sejuk di Firenze.

Bagi saya, Italia versus Spanyol adalah final ideal. Mari lupakan Jerman yang telah mengkhianati karakter Libero dalam sepakbola mereka. Lupakan pula betapa Inggris ternyata masih saja sibuk dengan WAGs dan media-media mereka yang megalomaniak.

Lalu Cristiano Ronaldo? Biarkan dia kembali ke salon dan menata ulang rambut tahun 50-nya itu. Sedangkan Belanda? Mereka sepertinya perlu menyuntikkan gen Johan Cruyff agar dapat kembali melakukan perzinahan intelektual di lapangan hijau. Dan, ah Prancis... sepertinya mereka perlu pergi ke Oprah Winfrey untuk berkonsultasi dan menangis bersama agar kembali rukun.

Mari sambut, meski Anda bukan partisipan kedua kubu, final berkelas ini:

Spanyol versus Italia.

========

*penulis adalah wartawan detikSport. Beredar di dunia maya dengan akun Twitter @propaganjen
Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar