Kontoversi ini bermula saat dua perusahaan riset mengumumkan akan menjual data tweet yang mereka miliki. Gnip Inc dan DataSift, merupakan dua perusahaan yang selama ini mendapat lisensi dari Twitter untuk melakukan analisa terhadap tweet yang diarsipkan, dan informasi umum tentang pengguna Twitter, seperti lokasi geografi.
DataSift mengumumkan pekan ini akan merilis data Twitter dalam kemasan yang berisi data dari aktifitas dua tahun pengguna Twitter, yang bisa dieksplorasi pembelinya. Sedangkan Gnip hanya bisa untuk 30 hari ke belakang.
"Memanen dari apa yang diucapkan orang selama setahun atau lebih akan mengubah permainan," kata Paul Stephens, Direktur Kebijakan dan Advokasi di Privacy Rights Clearinghouse, San Diego, Amerika Serikat.
Paul Stephen dan aktivis perlindungan privasi lain pun khawatir bisnis model ini memiliki implikasi negatif, terutama terhadap privasi pengguna jejaring sosial.
Model bisnis ini pun dipertanyakan oleh perusahaan internet security. "Twitter tumbuh dan media sosial berkembang, ini akan menjadi isu yang lebih besar," kata Graham Cluley, konsultan senior bidang teknologi di perusahaan sekuritas Sophos Ltd.
"Perusahaan online akan tahu website apa yang kita klik, iklan apa yang kita lihat, dan kita lihat. Ini malah berkembang, mereka juga ingin tahu apa yang kita pikirkan. Dan itu yang menyeramkan," ujar Cluley.
Komersil
Sebenarnya di tahun 2010, Twitter juga pernah membuat kesepakatan dengan US Library of Congress, untuk 'berbagi' data tweet penggunanya. Detail kesepakatan tentang data tweet yang bisa diakses publik di perpustakaan terbesar di dunia itu memang masih dalam tahap pengembangan. Tapi ada pembatasan, termasuk delay data tweet selama enam bulan ke belakang, dan pelarangan penggunaan untuk tujuan komersial.
Ini pula yang menjadikan penawaran DataSift menarik minat perusahaan. Lebih dari 700 perusahaan dikabarkan sudah mengantre untuk uji coba penawaran itu.
Para pembeli data itu akan mampu melihat tweet dalam topik tertentu dan bahkan bisa melihat secara khusus berdasarkan geografi.
Misalnya, Coca Cola Co bisa mencari tahu apa yang dibicarakan orang di Massachusetts tentang Coke Zero. Contoh lain, Starbucks Corp bisa 'menguping' perbincangan orang-orang di Florida tentang caramel latte buatan Starbucks,
Sedangkan Gnip, yang menawarakan penjualan data jangka pendek termasuk real-time, mengatakan data itu bisa digunakan saat terjadi bencana alam. Tim penolong akan bisa menggunakan data ini untuk memonitor penyakit, hingga dampak terhadap sentimen pasar.
Twitter menolak berkomentar, dan menyerahkan pertanyaan ke DataSift. Sedangkan CEO DataSift Rob Bailey mengatakan tidak ada akses ke perbincangan privat atau tweet yang dihapus. Menurut Bailey, perusahaan ingin data yang teragregasi, dan bukan ingin mencari tahu siapa berbicara apa ke siapa.
"Informasi yang akan kami sediakan adalah yang kategori publik. Kami tak menjual data untuk iklan yang tertarget. Saya bahkan tidak tahu bagaimana cara kerja itu," ucap Bailey seperti dikutip Reuters. (adi)
• VIVAnews
Artikel Terkait
0 komentar:
Posting Komentar